Sebagaimana
diketahui hasil rapat Paripurna DPR pada 30 Maret 2012 telah
mengamandemen UU No 22 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2012
menjadi UU APBNP. Amandemen tersebut terkait dengan naik atau tidaknya
harga bahan bakar minyak (BBM) seperti yang diamanatkan UU APBN yang
ditetapkan pemerintah pada November 2011 lalu.
Setelah
melalui proses politik di DPR, muncullah dua opsi sebagai jalan untuk
mengakhiri rapat paripurna itu. Opsi pertama, Pasal 7 ayat 6 tetap dan
tidak ada penambahan, sementara opsi kedua, pasal 7 ayat 6 ditambah
dengan ayat 6a.
Dari
putusan yang diambil melalui pemungutan suara (voting) itu, opsi kedua
yang dipilih anggota DPR koalisi (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai
Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan) memperoleh 365
suara, sementara sisanya memperoleh 82 suara (Partai Gerindra dan Partai
Keadilan Sejahtera). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai
Hati Nurani Rakyat walk out dalam pelaksanaan voting itu.
Untuk
itu, dengan kemenangan dalam memutuskan opsi tersebut, maka dengan
sendirinya UU APBN akan berubah menjadi UU APBNP dengan mencantumkan
ayat tambahan di pasal 7, yakni ayat 6a. Namun demikian proses politik
itu tak serta merta berjalan mulus sebab hasil paripurna dengan
amandemennya itu ditengarai berbagai kalangan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Malah banyak yang berpendapat bahwa hasil amandemen UU APBN
menjadi UU APBNP khususnya di pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a bertentangan
satu sama lain.
Karenanya
bukan tidak mungkin sebagian masyarakat akan melakukan yudisial review
ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan eksistensi pasal 7 ayat 6 dan
ayat 6a UU APBNP Tahun Anggaran 2012 ini. Sebab kemungkinan pasca
diamandemennya pasal 7 tersebut akan berdampak pada situasi politik
maupun ekonomi masyarakat akibat adanya ketidakpastian soal kenaikan
harga BBM tersebut.
Implikasi Hukum Amandemen UU APBN
Jika
mencermati hasil amandemen UU APBNP tahun Anggaran 2012, maka bisa
diketahui bahwa pasal 7 UU itu mendapatkan tambahan ayat di ayat 6,
khususnya ayat 6a. Ayat 6 a hasil keputusan rapat paripurna DPR itu
berbunyi; dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia dalam kurun
waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15%
dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang
diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah
berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM”.
Sedangkan pada ayat 6 itu tidak mengalami perubahan dan tetap sesuai dengan UU APBN sebelumnya yang berbunyi; harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan
Untuk
menjelaskan materi UU APBNP hasil amandemen pada ayat 6a itu, pemerintah
melalui Menteri Keuangan menyatakan bahwa harga BBM bersubsidi bisa
dinaikkan sewaktu-waktu sebab pasal 7 ayat 6a itu membuka ruang kenaikan
bila rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) selama enam bulan yang
dihitung mundur naik di atas 15 % dari asumsi sebesar US$ 105 per barel.
Dengan kata lain, harga BBM akan dinaikkan bila rata-rata ICP di atas
US$ 120,75 per barel.
Pasal 7
ayat 6a itu juga menurut pemerintah selalu menghitung enam bulan
terakhir, seperti saat ini April, maka mulai dihitung dari Oktober,
November, Desember, Januari, Februari dan Maret. Pada bulan Maret 2012
kenyataan yang ada harga ICP itu US$128 per barel, sementara harga
rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir sudah US$116 per barel atau 11%
di atas asumsi APBNP 2012 yang ditetapkan US$105 per barel. Karena belum
mencapai 15 % di atas asumsi APBNP, harga BBM belum bisa dinaikkan pada
April ini.
Menilik
isi dan substansi pasal 7 pasca amandemen itu dikaitkan dengan
penjelasan pemerintah, maka dalam satu pasal di UU APBNP itu terdapat
dua pengertian yang memiliki tafsir yang berbeda. Di satu sisi dalam
materi ayat 6, ditegaskan bahwa dengan sendirinya pemerintah tidak
menaikkan harga BBM bersubsidi kendati situasi lonjakan harga minyak
dunia mengalami fluktuasi sehingga berdampak pada postur APBN yang
mendapat tekanan dari ekses tersebut.
Sementara
di pihak lain, melalui ayat 6a, pemerintah memiliki kewenangan untuk
menaikkan dan atau menurunkan harga BBM akibat adanya acuan harga minyak
internasional yang mengalami kenaikan dan penurunan rata-rata 15%.
Artinya dalam ayat 6a ini, mensyaratkan sekaligus kepada pemerintah
untuk sewaktu-waktu dapat menaikkan harga BBM kendati dalam ayat 6 pasal
7 UU ini secara tegas pemerintah tidak bisa menaikkan dalam situasi
apapun yang terjadi.
Antara
ayat 6 dan ayat 6a dalam pasal 7 UU APBNP itu menunjukkan bahwa dalam
satu pasal telah terjadi pertentangan satu sama lain, yang menurut
aturan dan pembentukkan UU itu tidak lazim untuk dilakukan. Mengingat
dalam pembentukan suatu UU diniscayakan adanya satu kesatuan yang utuh
dan bulat dari keseluruhan isi UU itu yang mudah untuk dipahami
masyarakat tatkala implementasi UU itu dilakukan pemerintah .
Karenanya
dimungkinkan bahwa isi pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam konteks implementasinya di lapangan. Artinya bagaimana
mungkin suatu UU pada akhirnya bisa diberlakukan menurut situasi
obyektif yang disyaratkan dengan mengabaikan materi yang terdapat dalam
ayat lainnya di pasal tersebut.
Malah
ahli Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra pun mengingatkan,
bahwa Pasal 7 Ayat 6a dalam UU itu bertentangan dengan Pasal 28 D dan
Pasal 33 UUD 1945 . Yusril dalam hal ini merujuk pada penafsiran MK
tahun 2003 ketika pengujian Pasal 28 Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi.
Di mana
ketika itu MK membatalkan pasal 28 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi. Dalam amar putusannya MK menyatakan, pasal 28 ayat 2 dan
ayat 3 UU no 22 tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 28 ayat 2 berbunyi; harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, sementara ayat 3; pelaksanaan
kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi
tanggungjawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Karena
itulah MK melakukan pencabutan atas pasal 28 ayat 2 tersebut yang
mengatur kenaikan harga BBM berdasarkan persaingan usaha yang sehat dan
wajar (kutipan ayat 2; harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan).
Menurut
keputusan MK, campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga
haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang
penting dan atau menguasai hajat hidup orang banyak. MK juga mendalilkan
bahwa pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan
kebijakan harga BBM, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme
pasar.
Bisa
dikatakan, pasal 28 ayat 2 dan 3 di mata MK lebih mengutamakan mekanisme
persaingan, baru kemudian campur tangan pemerintah sebatas menyangkut
golongan masyarakat tertentu. Aturan inilah dipandang MK tidak menjamin
makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 4
UUD 1945, yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Karenanya
tak heran jika ahli HTN, Yusril Ihza Mahendra menyatakan, substansi
Ayat 6a itu sama dengan UU Migas sebelum dibatalkan MK. Menurutnya,
harga minyak dan gas di dalam negeri diserahkan kepada harga pasar
sehingga dapat bersifat fluktuatif. Dalam konteks ini amat mungkin pada
akhirnya terbuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan yudisial review
terhadap pasal 7 ayat 6a dalam UU APBNP Tahun Anggaran 2012 tersebut.
Andai
yudisial review dilakukan masyarakat, maka hal yang mencolok untuk
dimohonkan kepada majelis hakim MK adalah menyangkut eksistensi ayat 6
dan ayat 6a dalam pasal 7 UU APBNP itu. Secara terang pasal tersebut
satu sama lain saling beroposisi dalam hal penafsiran mengenai kapan
kenaikan harga BBM itu dilaksanakan dan berapa rupiah besaran kenaikan
yang akan diputuskan.
Kendati
jika dilihat dalam bulan April ini, pemerintah masih secara eksplisit
menggunakan pasal 7 ayat 6 dengan mempertimbangkan apa yang disyaratkan
dalam pasal 7 ayat 6a itu. Saat ini pemerintah masih mengacu pada
landasan hukum ayat 6 untuk tidak menaikkan harga BBM. Namun demikian
pemerintah pun bisa sewaktu-waktu mengacu pada pasal 7 ayat 6a untuk
menaikkan harga BBM sepanjang hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor di
luar kemampuan pemerintah, seperti halnya situasi lonjakan minyak dunia
akibat krisis Timur Tengah dan sebagainya.
Setidaknya
bisa dikatakan bahwa, kemungkinan jika pasal 7 ayat 6a dibatalkan MK,
maka pemerintah dengan sendirinya diminta untuk merevisi bunyi ayat
tersebut berdasarkan pertimbangan hukum yang diamanatkan oleh majelis
hakim MK. Tentu saja, hal ini akan berimplikasi kepada implementasi
kebijakan pemerintah yang secara mutlak tidak bisa lagi mengeluarkan
kebijakan untuk menaikkan harga BBM untuk masa selanjutnya di tahun 2012
ini.
Namun
jika MK memutuskan sebaliknya, tidak ada jalan lain bagi pemerintah
untuk serta merta mengikuti apa yang termaktub dalam bunyi ayat 6a
tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki kewenangan mutlak pula
untuk mengeluarkan kebijakan mengenai kenaikan harga BBM sepanjang
disyaratkan oleh UU APBNP secara keseluruhan itu.
Di luar
itu, selama belum ditandatanganinya UU APBNP oleh presiden, naskah UU
belum secara resmi bisa diuji materikan terkait persoalan apa dari pasal
tersebut yang dimohonkan oleh masyarakat. Namun MK tampaknya membuka
peluang bagi masyarakat untuk mendaftarkan uji materi UU APBNP seraya
menunggu ditandatanganinya UU itu.
Ketua
MK, Mahfud MD menjelaskan, keabsahan pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012
tergantung pihak yang melaporkan ke MK. Menurut Mahfud, laporan uji
materi baru bisa dilaksanakan setelah UU ditandatangani presiden yang
biasanya diteken setelah tiga bulan. Tiga bulan itu kemudian yudisial
review baru bisa diajukan sekaligus memastikan persoalan apa yang
dimohonkan oleh pemohon terkait dengan kebijakan kenaikan BBM tersebut.
Implikasi Sosial dan Politik
Secara
tidak langsung, diamandemennya UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun
Anggaran 2012 menjadi UU APBNP kemungkinan menimbulkan ketidakpastian di
masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM. Kendati sejauh ini
pemerintah telah memastikan bahwa rencana kenaikan BBM bersubsidi pada 1
April itu tidak jadi untuk diputuskan naik berdasarkan pasal 7 ayat 6 a
tersebut karena tidak memenuhi syarat 15 persen, sekaligus
mempertimbangkan bunyi ayat 6 itu sendiri.
Namun
demikian selama kurun waktu tahun anggaran 2012 ini, pemerintah juga
memiliki landasan hukum untuk menaikkan harga BBM berdasarkan pasal 7
ayat 6a itu dengan mengabaikan bunyi ayat 6. Pada titik ini pemerintah
memiliki keuntungan yuridis untuk memastikan kenaikan harga BBM selama
tahun anggaran 2012 ini.
Lepas
dari hal itu, secara politis, sesungguhnya pemerintah menghadapi dilema
ketika kebijakan kenaikan harga BBM akan digulirkan. Di satu pihak,
tekanan politik oleh kelompok dari berbagai elemen masyarakat pada
pemerintah akan semakin menguat seiring dengan rencana tersebut, di
pihak lain pemerintah dihadapi kenyataan adanya tekanan defisit APBN
andai tidak ada kebijakan kenaikan BBM. Dengan kata lain, saat ini
posisi politik pemerintah berhadapan langsung dengan masyarakat, buah
dari proses politik DPR.
Situasi
semacam ini kemungkinan akan berimplikasi pada gejolak sosial di
masyarakat mengingat tidak adanya kepastian menyangkut naik atau
tidaknya BBM di tahun anggaran 2012 ini. Apalagi selama munculnya isu
kenaikan harga BBM, diikuti pula oleh kenaikan harga sembako di beberapa
daerah walau tidak signifikan angka kenaikannya.
Karena
itu setidaknya ada beberapa hal yang muncul pasca amandemen UU APBN 2012
terkait dengan rencana naik atau tidaknya harga BBM itu.
- Pemerintah kemungkinan akan kembali mendorong pelaksanaan pembatasan BBM melalui program konversi BBM ke BBG.
- Elemen kelompok masyarakat diduga kuat akan mengajukan uji materi ke MK terkait pasal 7 ayat 6a UU APBNP
- Kenaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR kemungkinan amat rentan munculnya gejolak di masyarakat walaupun pemerintah memiliki kewenangan berdasarkan pasal 7 ayat 6a itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar