Senin, 30 April 2012

Dampak Kenaikan BBM dan Dikaitkan dengan UU

Sebagaimana diketahui hasil rapat Paripurna DPR pada 30 Maret 2012 telah mengamandemen UU No 22 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 menjadi UU APBNP. Amandemen tersebut terkait dengan naik atau tidaknya harga bahan bakar minyak (BBM) seperti yang diamanatkan UU APBN yang ditetapkan pemerintah pada November 2011 lalu.
Setelah melalui proses politik di DPR, muncullah dua opsi sebagai jalan untuk mengakhiri rapat paripurna itu. Opsi pertama, Pasal 7 ayat 6 tetap dan tidak ada penambahan, sementara opsi kedua, pasal 7 ayat 6 ditambah dengan ayat 6a.
Dari putusan yang diambil melalui pemungutan suara (voting) itu, opsi kedua yang dipilih anggota DPR koalisi (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan)  memperoleh 365 suara, sementara sisanya memperoleh 82 suara (Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Hati Nurani Rakyat walk out dalam pelaksanaan voting itu.
Untuk itu, dengan kemenangan dalam memutuskan opsi tersebut, maka dengan sendirinya UU APBN akan berubah menjadi UU APBNP dengan mencantumkan ayat tambahan di pasal 7, yakni ayat 6a. Namun demikian proses politik itu tak serta merta berjalan mulus sebab hasil paripurna dengan amandemennya itu ditengarai berbagai kalangan menimbulkan ketidakpastian hukum. Malah banyak yang berpendapat bahwa hasil amandemen UU APBN menjadi UU APBNP khususnya di pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a bertentangan satu sama lain.
Karenanya bukan tidak mungkin sebagian masyarakat akan melakukan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan eksistensi pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a UU APBNP Tahun Anggaran 2012 ini. Sebab kemungkinan pasca diamandemennya pasal 7 tersebut akan berdampak pada situasi politik maupun ekonomi masyarakat akibat adanya ketidakpastian soal kenaikan harga BBM tersebut.
Implikasi Hukum Amandemen UU APBN
Jika mencermati hasil amandemen UU APBNP tahun Anggaran 2012, maka bisa diketahui bahwa pasal 7 UU itu mendapatkan tambahan ayat di ayat 6, khususnya ayat 6a. Ayat 6 a hasil keputusan rapat paripurna DPR itu berbunyi; dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15% dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM”.
Sedangkan pada ayat 6 itu tidak mengalami perubahan dan tetap sesuai dengan UU APBN sebelumnya yang berbunyi; harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan
Untuk menjelaskan materi UU APBNP hasil amandemen pada ayat 6a itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan menyatakan bahwa harga BBM bersubsidi bisa dinaikkan sewaktu-waktu sebab pasal 7 ayat 6a itu membuka ruang kenaikan bila rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) selama enam bulan yang dihitung mundur naik di atas 15 % dari asumsi sebesar US$ 105 per barel. Dengan kata lain, harga BBM akan dinaikkan bila rata-rata ICP di atas US$ 120,75 per barel.
Pasal 7 ayat 6a itu juga menurut pemerintah selalu menghitung enam bulan terakhir, seperti saat ini April, maka mulai dihitung dari Oktober, November, Desember, Januari, Februari dan Maret. Pada bulan Maret 2012 kenyataan yang ada harga ICP itu US$128 per barel, sementara harga rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir sudah US$116 per barel atau 11% di atas asumsi APBNP 2012 yang ditetapkan US$105 per barel. Karena belum mencapai 15 % di atas asumsi APBNP, harga BBM belum bisa dinaikkan pada April ini.
Menilik isi dan substansi pasal 7 pasca amandemen itu dikaitkan dengan penjelasan pemerintah, maka dalam satu pasal di UU APBNP itu terdapat dua pengertian yang memiliki tafsir yang berbeda. Di satu sisi dalam materi ayat 6, ditegaskan bahwa dengan sendirinya pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi kendati situasi lonjakan harga minyak dunia mengalami fluktuasi sehingga berdampak pada postur APBN yang mendapat tekanan dari ekses tersebut.
Sementara di pihak lain, melalui ayat 6a, pemerintah memiliki kewenangan untuk menaikkan dan atau menurunkan harga BBM akibat adanya acuan harga minyak internasional yang mengalami kenaikan dan penurunan rata-rata 15%. Artinya dalam ayat 6a ini, mensyaratkan sekaligus kepada pemerintah untuk sewaktu-waktu dapat menaikkan harga BBM kendati dalam ayat 6 pasal 7 UU ini secara tegas pemerintah tidak bisa menaikkan dalam situasi apapun yang terjadi.
Antara ayat 6 dan ayat 6a dalam pasal 7 UU APBNP itu menunjukkan bahwa dalam satu pasal telah terjadi pertentangan satu sama lain, yang menurut aturan dan pembentukkan  UU itu tidak lazim untuk dilakukan. Mengingat dalam pembentukan suatu UU diniscayakan adanya satu kesatuan yang utuh dan bulat dari keseluruhan isi UU itu yang mudah untuk dipahami masyarakat tatkala implementasi UU itu dilakukan pemerintah .
Karenanya dimungkinkan bahwa isi pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam konteks implementasinya di lapangan. Artinya bagaimana mungkin suatu UU pada akhirnya bisa diberlakukan menurut situasi obyektif yang disyaratkan dengan mengabaikan materi yang terdapat dalam ayat lainnya di pasal tersebut.
Malah ahli Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra pun mengingatkan, bahwa Pasal 7 Ayat 6a dalam UU itu bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 33 UUD 1945 . Yusril dalam hal ini merujuk pada penafsiran MK tahun 2003 ketika pengujian Pasal 28 Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Di mana ketika itu MK membatalkan pasal 28 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam amar putusannya MK menyatakan, pasal 28 ayat 2 dan ayat 3 UU no 22 tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 28 ayat 2 berbunyi; harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, sementara ayat 3; pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggungjawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Karena itulah MK melakukan pencabutan atas pasal 28 ayat 2 tersebut yang mengatur kenaikan harga BBM berdasarkan persaingan usaha yang sehat dan wajar (kutipan ayat 2; harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan).

Menurut keputusan MK, campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan atau menguasai hajat hidup orang banyak. MK juga mendalilkan bahwa pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga BBM, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar.
Bisa dikatakan, pasal 28 ayat 2 dan 3 di mata MK lebih mengutamakan mekanisme persaingan, baru kemudian campur tangan pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu. Aturan inilah dipandang MK tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945, yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Karenanya tak heran jika ahli HTN, Yusril Ihza Mahendra menyatakan, substansi Ayat 6a itu sama dengan UU Migas sebelum dibatalkan MK. Menurutnya, harga minyak dan gas di dalam negeri diserahkan kepada harga pasar sehingga dapat bersifat fluktuatif. Dalam konteks ini amat mungkin pada akhirnya terbuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan yudisial review terhadap pasal 7 ayat 6a dalam UU APBNP Tahun Anggaran 2012 tersebut.
Andai yudisial review dilakukan masyarakat, maka hal yang mencolok untuk dimohonkan kepada majelis hakim MK  adalah menyangkut eksistensi ayat 6 dan ayat 6a dalam pasal 7 UU APBNP itu. Secara terang pasal tersebut satu sama lain saling beroposisi dalam hal penafsiran mengenai kapan kenaikan harga BBM itu dilaksanakan dan berapa rupiah besaran kenaikan yang akan diputuskan.
Kendati jika dilihat dalam bulan April ini, pemerintah masih secara eksplisit menggunakan pasal 7 ayat 6 dengan mempertimbangkan apa yang disyaratkan dalam pasal 7 ayat 6a itu. Saat ini pemerintah masih mengacu pada landasan hukum ayat 6 untuk tidak menaikkan harga BBM. Namun demikian pemerintah pun bisa sewaktu-waktu mengacu pada pasal 7 ayat 6a untuk menaikkan harga BBM sepanjang hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kemampuan pemerintah, seperti halnya situasi lonjakan minyak dunia akibat krisis Timur Tengah dan sebagainya.
Setidaknya bisa dikatakan bahwa, kemungkinan jika pasal 7 ayat 6a dibatalkan MK, maka pemerintah dengan sendirinya diminta untuk merevisi bunyi ayat tersebut berdasarkan pertimbangan hukum yang diamanatkan oleh majelis hakim MK. Tentu saja, hal ini akan berimplikasi kepada implementasi kebijakan pemerintah yang secara mutlak tidak bisa lagi mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga BBM untuk masa selanjutnya di tahun 2012 ini.
Namun jika MK memutuskan sebaliknya, tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk serta merta mengikuti apa yang termaktub dalam bunyi ayat 6a tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki kewenangan mutlak pula untuk mengeluarkan kebijakan mengenai kenaikan harga BBM sepanjang disyaratkan oleh UU APBNP secara keseluruhan itu.
Di luar itu, selama belum ditandatanganinya UU APBNP oleh presiden, naskah UU belum secara resmi bisa diuji materikan terkait persoalan apa dari pasal tersebut yang dimohonkan oleh masyarakat. Namun MK tampaknya membuka peluang bagi masyarakat untuk mendaftarkan uji materi UU APBNP seraya menunggu ditandatanganinya UU itu.
Ketua MK, Mahfud MD menjelaskan, keabsahan pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012 tergantung pihak yang melaporkan ke MK. Menurut Mahfud, laporan uji materi baru bisa dilaksanakan setelah UU ditandatangani presiden yang biasanya diteken setelah tiga bulan. Tiga bulan itu kemudian yudisial review baru bisa diajukan sekaligus memastikan persoalan apa yang dimohonkan oleh pemohon terkait dengan kebijakan kenaikan BBM tersebut.

Implikasi Sosial dan Politik
Secara tidak langsung, diamandemennya UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 menjadi UU APBNP kemungkinan menimbulkan ketidakpastian di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM. Kendati sejauh ini pemerintah telah memastikan bahwa rencana kenaikan BBM bersubsidi pada 1 April itu tidak jadi untuk diputuskan naik berdasarkan pasal 7 ayat 6 a tersebut karena tidak memenuhi syarat 15 persen, sekaligus mempertimbangkan bunyi ayat 6 itu sendiri.
Namun demikian selama kurun waktu tahun anggaran 2012 ini, pemerintah juga memiliki landasan hukum untuk menaikkan harga BBM berdasarkan pasal 7 ayat 6a itu dengan mengabaikan bunyi ayat 6. Pada titik ini pemerintah memiliki keuntungan yuridis untuk memastikan kenaikan harga BBM  selama tahun anggaran 2012 ini.
Lepas dari hal itu, secara politis, sesungguhnya pemerintah menghadapi dilema ketika kebijakan kenaikan harga BBM akan digulirkan. Di satu pihak, tekanan politik oleh kelompok dari berbagai elemen masyarakat pada pemerintah akan semakin menguat seiring dengan rencana tersebut, di pihak lain pemerintah dihadapi kenyataan adanya tekanan defisit APBN andai tidak ada kebijakan kenaikan BBM. Dengan kata lain, saat ini posisi politik pemerintah berhadapan langsung dengan masyarakat, buah dari proses politik DPR.
Situasi semacam ini kemungkinan akan berimplikasi pada gejolak sosial di masyarakat mengingat tidak adanya kepastian menyangkut naik atau tidaknya BBM di tahun anggaran 2012 ini. Apalagi selama munculnya isu kenaikan harga BBM, diikuti pula oleh kenaikan harga sembako di beberapa daerah walau tidak signifikan angka kenaikannya.
Karena itu setidaknya ada beberapa hal yang muncul pasca amandemen UU APBN 2012 terkait dengan rencana naik atau tidaknya harga BBM itu.
  1. Pemerintah kemungkinan akan kembali mendorong pelaksanaan pembatasan BBM melalui program konversi BBM ke BBG.
  2. Elemen kelompok masyarakat diduga kuat akan mengajukan uji materi ke MK terkait pasal 7 ayat 6a UU APBNP
  3. Kenaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR kemungkinan amat rentan munculnya gejolak di masyarakat walaupun pemerintah memiliki kewenangan berdasarkan pasal 7 ayat 6a itu.
sumber : www.starbrainindonesia.com/.../analisis-atas-diamandemennya-uu-no...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar